Saya adalah generasi yang tumbuh bersama cerita-cerita
petualangan anak-anak. Enid Blyton dan Astrid Lindgren adalah dua pengarang
favorit saya di usia Sekolah Dasar. Lima
Sekawan, Mallory Towers dan Pasukan Mau Tahu adalah novel-novel
pertama saya saat usia Sekolah Dasar. Ronya , Pippi The Longstocking, dan Emil si anak ‘nakal’ dari desa
Lonneberga, cerita-cerita itu sangat lucu!
Setiap perjalanan yang dilakukan oleh Julian, Dick, George,
Anna dan anjing kesayangan mereka Timmy selalu tampak menyenangkan.. berlibur
setiap liburan musim panas, pergi ke tempat-tempat yang menarik: tepi pantai,
pulau terpencil di tengah laut, puri terbengkalai di suatu pulau; bahkan hanya
bertamasya dengan bersepeda menyusuri jalan setapak di pinggir pedesaan pun
menjadi kegiatan yang menyenangkan! Lebih menyenangkan lagi karena di setiap
perjalanannya mereka selalu menemukan petualangan baru.
Enid Blyton dan Astrid Lindgren juga adalah pengarang yang
sangat mampu memancing imajinasi anak-anak.. saat saya membaca novel-novel
mereka, saya membayangkan betapa menyenangkannya daerah pinggir pedesaan
Inggris, dengan hutan-hutan dan jalan-jalan setapaknya.. dan hutan Mattis di
mana Ronya dan Birk bertualang, dengan penggambaran puri-puri dan hutan yang
indah .. dan Gnoma Kelabu! Ya ampuuunn.. saat saya membaca buku Ronya, betapa saya ingin memelihara
satuuuuu saja Gnoma Kelabu hahaha..
Berlanjut ke tingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama, Trio Detektif dari Alfred Hitchcock dan
cerita misteri oleh pengarang Agatha Christie, membuat saya sempat bercita-cita
menjadi detektif swasta hahaha… Pekerjaan itu tampak seru dan menegangkan, dan
yang pasti saya akan mendapatkan kesempatan bepergian ke berbagai tempat yang
baru.
Pergi
ke Inggris dan negara-negara lainnya yang diceritakan
di buku-buku itu, kemudian menjadi impian saya saat itu. Hanya
pemandangan padang rumput di pedesaan Inggris pun tampak begitu indah,
tidak pernah terpikirkan sama sekali bahwa Indonesia pun memiliki tempat
yang
sama indahnya atau bahkan jauh lebih indah. Namun fakta bahwa Indonesia
memiliki tempat yang jauh
lebih indah dibandingkan dengan tempat-tempat di Inggris juga tidak akan
berpengaruh banyak pada saya, karena saya tidak pernah bepergian jauh
dari
rumah. Lingkup perjalanan saya hanya berkisar di rute
rumah-sekolah-rumah. Di
hari libur mungkin akan ditambah dengan rumah-pasar-rumah karena saya
harus
membantu ibu saya belanja ke pasar. Setelah dewasa tentu ada
sedikit-sedikit
penambahan seperti kampus tempat kuliah dan akhirnya kantor tempat
bekerja.
Pencarian akan petualangan juga seakan-akan terkubur
perlahan-lahan seiring dengan semakin mahalnya harga buku. Buku cerita yang
dulu seharga tiga ribu rupiah di masa saya Sekolah Dasar, kini mencapai harga
puluhan ribu. Adanya kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih penting juga menurunkan minat saya untuk membeli buku.
Misalnya kebutuhan untuk mencicil kendaraan bermotor, membeli kebutuhan
anak-anak seperti popok dan susu, belum lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Cicilan rumah adalah salah satu hal yang sangat menyita
pengeluaran kami sebagai keluarga. Ya.. kami telah memutuskan untuk mencicil
sebuah rumah. Rumah itu terletak di daerah yang tadinya merupakan lahan tak
terawat, banyak pohon-pohon, dan selokan kecil, ada tebing dan sungai besar di
tepi perumahan kami. Ada
tempat pemancingan umum di tengah perumahan.
Rumah kami berada di sudut suatu perempatan. Kira-kira dua
puluh meter ke arah kiri, ada tebing dengan tinggi sekitar sepuluh meter, penuh
dengan tanaman merambat di dinding tebingnya. Puncak tebing dipenuhi berbagai
pepohonan, namun yang paling banyak adalah pohon bambu hijau. Gemerisik
dedaunannya berubah menjadi gemuruh jika angin bertiup cukup kencang.
Sekitar dua ratus meter ke arah belakang, ada sungai besar
memagari tepi perumahan: Sungai Ciliwung. Tepi sungai berjarak sekitar lima meter dari pagar
batas perumahan. Tentu saja saya sudah pernah melihat sungai sebelumnya… namun
kini saya lebih merasa memiliki
sungai itu, karena sangat dekat dengan rumah kami. Batu-batu sungai yang besar,
aliran sungai yang deras ataupun tenang, dapat saya amati dari tepian sungai
dengan leluasa setiap saat.
Saat baru beberapa rumah saja yang telah dibangun di komplek
perumahan, saya masih sangat dapat merasakan suasana alam liar. Embun pagi di rerumputan, ikan-ikan besar di selokan di
depan rumah – bahkan suatu waktu saya benar-benar melihat ular air melintas
cepat! – kunang-kunang beterbangan di udara malam. Hal-hal ini sudah tidak
pernah saya rasakan lagi di kota tempat
rumah orang tua saya, padahal jarak antara komplek perumahan saya dan rumah
orang tua saya hanya 20 menit berkendara.
Menyadari bahwa keistimewaan mengalami alam liar ini tidak
akan saya rasakan selamanya – karena pastinya pihak pengembang akan melanjutkan
pembangunan rumah-rumah lain di sekitar rumah kami, alhasil alam liar saya pun tidak akan bertahan
lama - saya jadi benar-benar menikmati mengamati alam sekitar saya, kapan pun
saya sempat mengamatinya. Saya mengajak anak-anak saya mengamati kepiting
berjalan di selokan, musang yang berlari di sela pepohonan atau kupu-kupu yang
terbang rendah mencari bunga.
Dan tiba-tiba saja kesadaran itu menghentak diri saya!
Ingatan masa lalu saya yang mengantar saya pada apa yang saya lakukan saat itu.
Pencarian atas petualangan! Ternyata saya tidak perlu mencari jauh-jauh..
petualangan itu ada di sekitar saya! Setiap perjalanan dapat menjadi suatu
petualangan, tinggal pikiran kita saja yang memutuskan apakah suatu perjalanan
akan hanya menjadi suatu perjalanan atau akan menjadi suatu petualangan yang
menyenangkan.
Anak-anak saya berada di usia 4-6 tahun saat ini, mereka
akan mengikuti rasa kami orang tuanya dan akan mengikuti irama petualangan
dalam perjalanan jika kami menjadikan suatu perjalanan adalah petualangan.
HIngga kini, menaiki jalan setapak yang menanjak di belakang rumah kami namai
mendaki gunung. Setibanya di ‘puncak gunung’, kami dapat memandang atap-atap
rumah di kompleks perumahan kami. Melihat-lihat ikan kecil di selokan kami
namai berburu ikan (dan kepiting), hmmm...
Sayang sekali sungai Ciliwung yang melintasi komplek
perumahan kami terlihat kotor karena banyak sampah yang tersangkut di
dahan-dahan pohon di sepanjang tepi sungai. Pernah suatu kali anak saya
bertanya, “Bunda kenapa ada banyak sampah di sungai?” “Hmmm.. kalau ada banyak
sampah di sungai, sungainya jadi bagus ngga,
De?” saya balik bertanya. “Tidak, Bunda” jawabnya.
Benar adanya bahwa kemajuan suatu masyarakat dimulai dari
anak-anaknya. Mereka adalah peniru paling ulung. Apa yang dilakukan oleh orang
tuanya, mereka akan mengikuti. Walaupun lingkungan memberikan pengaruh yang
sangat kuat, tapi kitalah sebagai orang terdekat mereka yang harus memberikan
pendidikan tentang apa yang baik dan buruk sedari dini dan menjadi teladan yang
baik bagi mereka.
Demikian pula pendidikan tentang menjaga lingkungan sekitar
kita. Jangan pukul pohon (entah mengapa ya anak-anak suka sekali memungut
batang kayu di jalan dan menyabetkannya pada pohon-pohon), jangan petik bunga,
jangan buang sampah sembarangan, jangan lempar ikan pakai batu, jangan mencolok-colok
kepiting, dan jangan-jangan lainnya saya ucapkan jika sedang berjalan-jalan
dengan mereka. Banyak sekali tingkah laku mereka yang kadang terlihat aneh dan untuk apa ya mereka melakukan itu?
tapi kebanyakan dari tingkah laku aneh
mereka hanyalah buah dari keingintahuan mereka. Ini adalah sifat alami
anak-anak, dengan cara inilah mereka belajar tentang dunia di sekitar mereka.
Sungguh jika kita menahan diri dari rasa marah karena keingintahuan anak-anak
dan tetap sabar dalam memberikan pengertian yang baik, maka kita akan menikmati
buah dari itu semua; anak-anak yang mencintai lingkungannya, dan mencintai
petualangan.
akhhh senangnya jika rumah kita masih di lingkungan asri begitu ya mba. Rumahku di dlm kompleks...hny kalo mudik saja bisa melihat hamparan sawah :)
ReplyDelete