“Yah, siapa yang paling Ayah sayang sekarang? Aa, Kaka atau Ade Bayi?” Anak pertamaku bertanya pada ayahnya.
Aku yang sedang terkantuk-kantuk menyusui Ade Bayi, tersentak.
Ade Bayi menggeliat sedikit. Aku tepuk-tepuk pelan dan dia memejamkan mata, menyusu
lagi.
Malam itu, suamiku sedang bersama dua anakku di kamar mereka.
Aa si sulung berusia 9 tahun dan adiknya
Kaka berusia 7 tahun, sedang main balap mobil-mobilan dan suamiku menjadi
jurinya. Aku sedang berada di ruang tengah, namun bisa mendengar dengan jelas
gelak tawa dan obrolan mereka. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja
Aa bertanya seperti itu. Aku bisa membayangkan suamiku juga sama terkejutnya
seperti aku. Aku dengar dia berdehem, dan kupasang telingaku.
“Sayangnya Ayah sama buat semuanya. Sayang bangettt!” ujar
suamiku.
“Koq bisa Yah? Aku kan paling besar. Ade Bayi masih kecil
banget. Masa sayangnya sama?” si Aa terdengar penasaran.
“Lha iya sama aja. Memang sebelum ada Ade Bayi, sayangnya
Ayah ke Aa sama ke Kaka beda?” suamiku bertanya balik, agak bingung juga.
“Iya, hehe. Ayah kan lebih sering marah sama aku, jadi Ayah
lebih sayang Aa,” sahut Kaka, si nomor dua, suaranya ringan.
Di ruang tamu, aku terdiam. Suamiku juga terdiam, lalu terdengar dia menarik
napas. “Ayah ngga akan marah sama Kaka kalau Kaka menurut. Kalau Kaka
sudah tahu mana yang baik dan mana yang ngga baik, dan tetep ngga menurut ya Ayah
ngga suka. Kaka kan tahu, marahnya Ayah itu berarti sayang. Ayah ingin Kaka jadi
anak baik. Ayah sering bilang gitu kan?” suamiku menjelaskan.
“Hehe… Iya. Eh Ayah, kalau marahnya Ayah tanda sayang,
berarti Ayah paling banyak sayangnya buat aku dong,” tawa si Kaka. Aku tersenyum.
Dasar anakku itu. Ngga pernah mau kalah!
Tidak bisa dipungkiri, hadirnya Ade Bayi kecil dalam
keluarga kami sangat menyita waktu dan perhatianku dan suamiku. Apalagi
kehadirannya terjadi tiba-tiba. Walaupun tentunya disyukuri sebagai berkah, kekhawatiran
kadang muncul tentang bagaimana caranya kami bisa membagi perhatian untuk
ketiga anak kami nanti. Berbeda dengan kedua anak pertama kami, mereka practically sepantar, sehingga dalam
banyak hal mereka diperlakukan kurang lebih sama, mendapat perhatian yang sama.
Sejak hamil, aku dan suamiku sudah mempersiapkan kedua
anakku bahwa akan ada adik baru, dan nanti Bunda mungkin akan lebih banyak memperhatikan
Ade Bayi. Aa dan Kaka harus lebih sabar, kalau nanti Bunda mungkin lebih banyak
bermain dengan Ade Bayi (Duhh... maaf ya Aa dan Kaka! Belum apa-apa kami sudah
meminta kalian untuk mengerti dan mengalah…)
Di satu sisi, aku merasa tenang melahirkan anak ketiga di
saat usia kedua anakku sudah 9 dan 7 tahun. Mereka sudah cukup besar untuk
diberi pengertian. Usia keduanya yang tidak berjauhan juga menjadikan mereka best friends. Kalau aku dan suami sedang
sibuk dengan adik bayi, mereka masih punya satu sama lain, kan?
Tapi anak-anak
tetaplah anak-anak. Bahkan best friends
pun kadang tak sepaham juga, kan? Apalagi ini adalah dua anak laki-laki yang sedang berada di tahap usia tidak mau mengalah, tinggi ego dan tinggi keakuannya.
Mainnya ribut, bertengkarnya ya lebih ribut lagi. Dan nasib jadi anak bungsu,
adalah selalu keberisikan oleh tingkah polah kakak-kakaknya.
Kesal ngga sih, kalau Bundanya sudah pegal menggendong Ade
Bayi yang rewel dari siang sampai malam, dan saat bayi mulaaaiii pulaaass,
diletakkan dengan hati-hati di kasur… tiba-tiba DOR!! Balon meletus dari kamar
depan. Ade Bayi pun menangis lagi. Dan Bunda gagal istirahat. Haduuhhh!!
Marah ngga sih, kalau saat Ade Bayi baru saja tidur siang
dan Bunda baruuu saja mulai punya waktu untuk beres-beres rumah yang berantakan,
makan siang belum dimasak, cucian baju belum dijemur... tiba-tiba anak-anak
pulang dan masuk rumah sambil teriak “Assalamu’alaikum, Buuun!” Bukannya menjawab salam, yang ada
malah Bunda melotot karena Ade Bayi bangun, menangis dan minta digendong lagi. Aduduhh…
Tapiii, ada #dilema di sini. Jika mereka sampai bertanya,
siapa yang paling kami sayangi, apakah itu berarti mereka merasa insecure tentang posisi mereka di mata
kami? Apa mereka secara tidak sadar merasa terancam oleh kehadiran Ade Bayi?
Adakah sikap kami membuat mereka berpikir seperti itu? Padahal sungguh, kami berusaha untuk bersikap adil. Tapi, apa belum cukup?
“Kenapa Ade Bayi harus diperhatikan terus, Bun?” tanya Kaka
dulu, sebelum Ade Bayi lahir.
“Yaaa, Ade Bayi kan masih kecil banget. Belum bisa apa-apa. Belum
bisa mamam sendiri, belum bisa pakai baju sendiri, belum bisa mandi sendiri
seperti Kaka. Semuanya harus dibantu. Kaka juga dulu seperti itu.”
“Belum bisa main, ya?”
“Iya, belum bisa main seperti Kaka. Mainnya baru sama Bunda
dan Ayah dulu. Kaka kan ada Aa, kalian bisa main bareng.”
“Nanti aku bakal main juga sama Ade Bayi, boleh ngga Bun?”
tanyanya bersemangat.
Sungguh merupakan berkah lainnya, kedua anakku menerima
dengan baik kehadiran Ade Bayinya. Mereka juga sibuk menyiapkan nama dan
memilih pernak-pernik bayi. Saat Ade Bayi lahir, sorot mata Kaka sangat tulus
mengagumi Ade Bayinya.
“A, Aa iri ngga sama Ade Bayi?” tanyaku suatu malam. Ade Bayi
sedang digendong suamiku dan aku sedang mengusap-usap punggung Aa sebelum ia
tidur, kebiasaan yang sudah lama tak aku lakukan sejak ada Ade Bayi.
“Iri kenapa, Bun?”
“Yahh, soalnya sekarang Ayah dan Bunda lebih sering sama Ade Bayi. Aa
ngga apa-apa?”
“Ngga apa-apa, Bun. Kan Bunda perhatian juga sama aku. Aku
ngga iri.” sahutnya sambil mengantuk.
Padahal, rasa bersalah sering juga datang menyelinap ke
dalam hati. Aku sekarang sungguh sulit meluangkan waktu menemani kedua anakku
belajar di malam hari, padahal hanya di malam hari mereka punya waktu, dan
seringnya mereka ingin belajar hanya dengan Bundanya. Apalagi kalau suamiku pulang larut malam. Pagi hingga maghrib sudah
habis waktu mereka untuk sekolah dan mengaji. Tapi mau bagaimana lagi, rasanya sudah
sulit sekali menahan kantuk selepas jam 7 malam, hasil dari seharian mengurus
rumah dan Ade Bayi. Kadang kupaksakan untuk menemani belajar, tapi rasa lelah
dan kantuk membuat kesabaranku menipis. Kaka yang belum lancar membaca akhirnya
menjadi sasaran. Dilema? Iya. Dan aku hanya bisa menyesal saat Kaka terisak
karena kumarahi.
Kami memang bukan orangtua yang menabukan marah pada anak.
Apalagi kami sudah membuat perjanjian yang jelas dengan mereka, bahwa hanya jika
mereka melakukan sesuatu yang mereka tahu tidak baik, baru kami akan marah.
Marahnya kami tidak mencelakakan, tanpa hukuman fisik dan tidak merendahkan.
Tapi marah karena habisnya kesabaran? Karena kelelahan? Aku pun bahkan tidak
bisa membenarkan itu.
Bagaimana jika mereka memang benar-benar melakukan
kesalahan? Aku harus lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata. Jangan
sampai terbersit kesan sedikit pun, bahwa marahnya aku dilakukan secara tidak
adil. Mungkin kekhawatiranku berlebih, tapi aku tidak mau kedua anakku mendapat
kesan bahwa sekarang aku mudah marah karena ada Ade Bayi dan Bunda lelah karena
mengurus Ade Bayi lalu melampiaskannya pada kakak-kakaknya… Oohh.. jangan
sampaiii… Aku tak mau mereka berbalik tidak sayang pada Ade Bayi karena aku
tidak bisa mengendalikan emosiku.
“Ka, Bunda sering marah-marah ya sekarang?” ucapku pelan
saat memakaikan baju untuk Ade Bayi. Kaka yang suka melihat prosesi mandi Ade
Bayi, mengangguk.
“Kaka sedih ngga kalau Bunda marah-marah?”
“Sedih…” ucapnya pelan.
“Maaf ya, kemarin Bunda marah-marah. Bunda berusaha deh ngga marah-marah lagi.”
“Kalau Bunda masih marah-marah?”
“InsyaaAllah ngga akan, kalau ngga perlu,” ucapku sambil
tersenyum. Kuciumi pipi Ade Bayi yang harum segar sehabis mandi.
“Bun, dulu waktu aku kecil, aku sering disun juga seperti
Ade Bayi?” tanya Kaka.
Aku tersenyum. “Iya dong. Kenapa? Kaka mau disun juga?
Siniiii…” tanganku mengembang seperti hendak menangkapnya. Kaka
menggeleng-geleng kepala, tergelak tapi tidak beranjak dari tempatnya.
“Mmmuah… nah, sudah Bunda sun. Mau lagi?”
“Hihihi… mauuu...” ujarnya malu-malu.
Komunikasi yang baik sungguh besar peranannya dalam
menghadapi #dilema yang kami hadapi ini. Beruntung juga kami membiasakan
anak-anak untuk mengkomunikasikan perasaan mereka secara terbuka, jangan sampai
ngambek dan pundung tanpa bicara. Jika Aa tidak bertanya, siapa anak yang
paling disayang Ayahnya, kami mungkin tidak akan pernah berpikir untuk mengkaji-ulang dan memperbaiki sikap terhadap anak-anak
kami yang lebih besar. Mereka juga masih perlu perhatian dan kasih sayang.
Kadang masih ingin bermanja-manja. Terlalu banyak meminta pengertian mereka, meminta
mereka selalu mengalah untuk Ade Bayi, tidaklah adil. Kami juga meningkatkan intensitas perhatian kami. Genggaman tangan, usapan di kepala, kecupan di pipi sebelum berangkat sekolah dan duduk bersama saat makan malam. Bentuk perhatian yang sederhana, tapi mudah-mudahan mengena di hati.
Jadi siapa yang paling disayang Ayah dan Bunda? Pertanyaan
ini tidak lagi menimbulkan dilema untuk kami :)
Tulisan ini diikutsertakan pada “Lomba Blog “DILEMA”
My handsome knights in shining armors, protecting their little baby princess :) |
***
Tulisan ini diikutsertakan pada “Lomba Blog “DILEMA”
betul mbak astrid, komunikasi yg baik bisa meluruhkan kecemburuan antar kakak adik... aku sulung 6 bersaudara, jarak adikku yg paling dekat 7 taun... yg bungsu kelas 1 smp... alhamdulillah kami kenyang sama kasih sayang dari ibu, jadi semua akuuuur
ReplyDeletegood luck untuk giveawaynya
Iya Mba Maria. Walaupun kadang bicaranya bercampur dengan nangis sampe sulit dimengerti, tapi mereka belajar untuk jelas mengungkapkan perasaannya. Makasih ya Mba :)
Deletekayaknya anakku yang sulung gak protes kalau aku lebih memperhatikan adiknya, mungkin karena dia baisa main sendiri kali ya, tapi sekarang sudah paad besar mereka saling menyayangi
ReplyDeleteWah hebat, dong! Menurut aku sih, tergantung sama usia si anak saat mendapatkan adik, juga usaha ortu untuk ngasi pengertian dan perhatian yang adil sama semua anak-anaknya ya. Terima kasih sudah mampir ya, Mba :)
Deletesaya jadi inget si sulung saya pernah bilang gini,"kok aku sekarang jarang di peluk." feeling quilty ...saya memang jarang meluk karena adiknya maish kecil kan enak tuh diuwel uwel kalauudah gede asa kagok ngeuweluwelna *uwel uwel itu meluk sambil ngilikitik-istilah saya hahahha
ReplyDeleteIya kadang kita melihat mereka udah besar, padahal mungkin kadang mereka masih ingin manja-manja sama kita ya :) Bukan karena manja tapi karena ingin dekat..
DeleteMba Tyaaa, dalem bgt sih ceritanya huhuhu, aq jd inget waktu kecil duluu :) TFS ya mba, salam buat 2 knights n beautiful armor :)
ReplyDeleteHihihi.. makasih Mba Des, iya nanti disampaikan salamnya :)
Deletesemoga semua menjadi anak yang berbakti kpada orang tua,..
ReplyDeletevinz
Aamiinn.. terima kasih atas kunjungannya :)
DeleteI feel you, Mba Astrid :')
ReplyDeleteAku anaknya dua, termasuk jarak dekat lah, dua tahun lebih.
Yang paling berasa adalah pas mau bobo. Karena adeknya masih nenen, otomatis aku kan miring ke dia buat nyusuin. Eh, suatu kali Kakaknya protes, "Aku sedih lah masa tiap mau tidur dapetnya punggung Bunda terus".
Huwaaaa, aku nangis Mba. Langsung aku peluk dia T___T
Kadang rasanya kalau bisa kita dibelah dua aja ya Mba, supaya bisa untuk semuanya.. bisa untuk Kakak, bisa untuk Adek, bisa nyetrika, bisa nyuci piring... eh koq malah curhat hehe...
DeleteAnak pertama saya sempat protes tentang hal ini. Tapi memang komunikasi yang baik jawabannya ^_^
ReplyDeleteEmang komunikasi yang baik bisa menyelesaikan hampir semua masalah ya Mba.. Makasih udah mampir :)
DeletePonakanku dua laki-laki, jarak umur sekitar tiga tahun, sejak kecil suka saling iri, tapi setelah gede ya kelar sendirinya.
ReplyDeleteAlhamdulillah atuh kalo iri-irian nya udahan pas gede ya. Udah lebih dewasa yaa :)
Delete