Parenting can be confusing sometimes... if not many times, for me...
sumber: pixabay.com |
Menentukan kapan saatnya kita bilang tidak atau iya.
Di satu sisi orangtua harus konsisten, tetapi juga fleksibel.
Seiring waktu, ada hal-hal yang harus berubah dan berkembang.
Tentang uang, upah dan ketulusan membantu
sumber: pixabay.com |
Alhamdulillah, mereka tidak terlalu menuntut dan so far so good lah dengan pengaturan seperti itu. Tentu kadang ayah bundanya juga pengen jajan hehehe, mereka pasti ikut jajan. Tentu ada pula saat-saat mereka merengek minta mainan, minta jajan siomay yang lewat depan rumah, atau pengen jajan ke tempat makan tertentu. Jika memungkinkan, kadang kami turuti, kadang juga tidak.
Aku pernah membaca - entah di mana - bahwa anak-anak akan lebih menghargai arti uang jika mereka harus bekerja dulu untuk itu. No pain no gain lah istilah kerennya. Tidak ada salahnya memperkenalkan arti kerja keras kepada anak-anak sejak dini, bukan berarti untuk membebani hidup mereka, tapi agar mereka paham proses mendapatkan uang, sehingga akhirnya menghargai kerja keras kedua orangtuanya dan bisa membelanjakan uang mereka dengan lebih bijak.
Kami memulai dengan membuka layanan pijat. Ada upah 1000 rupiah untuk 15 menit pijat. Biasanya sambil ngobrol-ngobrol di kamar anak-anak selepas mereka belajar dan beres-beres buku pelajaran. Pijat ala-ala gitu deh, pukul-pukul dan tekan-tekan pelan di punggung, lumayan sih rasanya.
Uang yang didapat biasanya mereka masukkan ke celengan. Aa Faza si 9 tahun lebih rajin pijatnya. Kaka Izzan yang 7 tahun sih, kalau lagi mood saja baru deh mau pijat.
'Masalah'nya timbul saat besok-besoknya kami minta tolong mereka untuk pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Mereka menadahkan tangan sambil cengar-cengir, "Ada upahnya ngga, Bun? Kan aku bantuin Bunda,"
atau...
"Oke aku sapuin halaman, tapi nanti ada upahnya ya, Yah,"
"Ada upahnya ngga, kalau aku beresin tempat tidur?"
"Jagain Defai kan susah, ntar ada upahnya ngga, Yah?"
Jeng jengg...
Tentang bekal sekolah dan ketulusan berbagi
sumber: pixabay.com |
Sore harinya, Kaka Izzan bercerita, "Bun, tadi aku cuma kebagian sedikit rotinya. Teman-teman aku minta."
Tuing-tuing... radar indera keenam Bunda menangkap sinyal-sinyal aneh. Baiklah, mari kita ngobrol, Nak.
"Koq teman Kaka minta bekalnya Kaka?" tanya Bunda sambil goreng ayam.
"Iya Bun, dia ngga bawa bekal," jawab Izzan. (Hmmm... kenapa atuh ngga minta dibuatkan bekal ke ibunya?)
"Yang minta bekal Kaka Izzan, satu orang atau banyakan?" tanya Bunda sambil bolak-balik ayam goreng.
"Kadang satu, kadang banyak,"
"Lha, kalau banyakan yang minta, bekal Kaka bisa habis dong," kata Bunda sambil angkat ayam goreng.
"Iya, kadang aku ngga kebagian," jawab Izzan (hhhhh... Bunda mulai gerah, di dapur panas bok!)
"Temen Kaka maksa ngga pas minta bekalnya Kaka?" tanyaku perlahan.
"Emmm... ya dia minta aja," jawab Izzan polos.
Aku agak galau. Atau paranoid? Apakah ini tanda-tanda anakku suka berbagi? Apakah dia disukai teman-temannya? Atau dia dimanfaatkan secara tidak sehat oleh teman-temannya? Apakah bekalnya diminta paksa?
Apakah aku pelit? Kenapa aku tidak bisa melihat sikap Izzan sebagai kebaikannya yang tulus dan mengapresiasinya?
Hmmm...
Tentang menjaga perasaan orang lain
sumber: pixabay.com |
"Aa harus minta maaf. Aku udah bilang, aku ngga suka diledek kaya gitu," tangis Izzan.
"Kaka Izzan ngga boleh gampang nangis kalau diledek, nanti kalau ada temen Kaka di luaran yang ngeledekin Kaka, masa Kaka mau nangis juga?" ucapku suatu saat. Izzan menggeleng perlahan.
Maksudku adalah, kita tidak bisa menentukan bagaimana orang harus bersikap terhadap kita. Karakter tiap-tiap orang pun berbeda-beda. Gaya bercanda tiap orang berbeda-beda. Ada yang candaannya ringan dan menyenangkan hati semua pendengarnya. Ada yang cara bercandanya berat dan mungkin berbalut sinisme. Ada candaan yang sama sekali tidak lucu dan sama sekali bukan candaan. Apa pun itu, anak harus diajarkan untuk memiliki hati yang luas, pikiran terbuka dan jika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, jangan menghadapinya dengan tangisan.
Tentu saja Izzan tidak bisa langsung mengerti maksudku. Dan saat berikutnya Izzan kembali menangis, Aa Faza sudah punya senjata andalan. "Kata Bunda juga, jangan gampang nangis! Begitu aja nangis!"
"Aa juga jangan malah sengajain ngeledek, padahal Aa tau Kaka ngga suka digituin," aku menyentak balik Faza yang bersikeras menolak permintaan Izzan untuk meminta maaf.
Padahal aku juga telah menasihati Faza tentang pentingnya sikap menjaga perasaan orang lain, bahwa tidak semua orang bisa mengerti dan harus satu selera dengan kita. Jaga perasaan orang lain, karena sangat mudah untuk tidak sengaja melukai perasaan orang lain. Apalagi dengan sengaja meledek untuk menguji sejauh mana lawan bicara kita bisa bertahan terhadap 'candaan' kita? Duh, tidak boleh!
"Aku ngga sengaja ngeledek, aku cuma bercanda. Izzan aja yang emang gampang nangis," Faza mengelak. Aku menghela napas.
Parenting can be confusing, and surely takes a lot of learning in patience...
Did you ever encounter the same experience with your kids, how did you deal with it?
Saya juga punya beberapa kesepakatan dengan anak-anak. Es krim seminggu sekali, tiap hari sabtu. Mie instan boleh kalau pas Mamanya nggak masak, itupun minimal jaraknya 2 minggu.
ReplyDeleteIya memang harus ada ya kesepakatan dengan anak. Toss, mbak! :)
Deletemasalah ledek-ledekan antar saudara yang bikin pusing itu, katanya nggak akan pernah berhenti sampai akhirnya mereka masing-masing udah pada nikah. hahahaaa.
ReplyDeleteWaaahh.. masa siih..*ikon tepok jidat.
DeleteBerarti emaknya harus lebih lama bersabar yaaa wkwkwk