Tentang Belajar Menulis: #1 Meruntuhkan Mental Block -- Menjadi penulis sebenarnya bukan cita-citaku. Bukan cita-cita masa kecil, maksudku. Seperti anak-anak lain, aku dulu ingin jadi dokter, pilot atau astronaut.
Aku berhenti bercita-cita jadi dokter saat aku sadar, mungkin di SMP, bahwa aku takut darah dan takut menghadapi mayat. Padahal duluuu itu aku pengin jadi dokter forensik hahaha...
begimane sih... Ya dokter forensik itu tampak keren di film dan novel detektif, dan peranannya penting dalam memecahkan misteri pembunuhan. Tapi mereka seringkali bekerja sendirian, hanya ditemani si mayat yang akan diobrak-abrik tubuhnya dan mayat-mayat lain dalam kotak-kotak penyimpanan di ruangan dingin itu. Bagaimana kalau mereka tiba-tiba hidup! Hiiii....
Aku juga berhenti berkeinginan jadi pilot dan astronaut saat gigiku mulai bolong hahaha... Lalu aku punya keinginan jadi duta besar, tapi hapalan IPS ku ngga banget deh wkwkwk... Saat SMP juga aku mulai menyadari kalau aku suka pelajaran Bahasa Inggris. Lalu aku ingin jadi
tour guide.
Yah, ada suatu fase dalam hidupku saat aku 'terjerumus' dalam dunia kimia. Terjerumus itu kesannya tidak disengaja ya, dan saat sudah sadar seharusnya cepat-cepat dong naik menyelamatkan diri dari lubang nestapa. Tapi aku terjerumus cukup lama, sekitar 20 tahun hehehe... Menyesal? Tidak juga. Dari situ aku mendapatkan suami, keluargaku sekarang dan pekerjaan yang cukup membantu kehidupan kami selama kurang lebih 12 tahun.
Selama aku belajar di sekolah tingkat atas, kuliah dan bekerja, aku banyak mendapat kesempatan mengasah kemampuan bahasa Inggrisku secara non-formal. Secara sadar, aku mulai berpikir bahwa mungkin ada bidang lain di luar sana yang dapat menampung kemampuanku ini. Lalu aku mulai merambah dunia penerjemahan. Ternyata asyik juga, dan berbayar pula hehehe...
Berbarengan dengan perkenalanku dengan dunia alih bahasa, aku juga mulai ngeblog. Secara otomatis, dunia kepenulisan mulai mengisi hari-hariku. Katanya, kalau suka membaca biasanya suka menulis. Atau, kalau mau menulis harus suka membaca. Aku merasa punya modal dalam hal membaca, karena aku suka membaca dari kecil, meskipun sejak punya tiga anak aku sudah jarang bisa berbagi waktu dengan buku.
Menulis itu gampang. Hanya tinggal duduk dan mengetik. Iya kah?
Ternyata tidak seperti itu urusannya denganku. Seringkali aku merasa kesulitan. Apa saja sih hambatanku dalam menulis?
Dua hal inilah yang menjadi hambatan terbesarku:
1. Tidak dapat ide.
2. Tidak ada waktu.
Masalahnya, benarkah kedua hal ini memang hambatan, atau hanya
mental block saja? Alias sesuatu yang hanya ada di pikiran? Nah, saat aku mengikuti kelas menulis daring Training Online Menulis bersama Teh Rena Puspa dan Penerbit Ihsan Media, aku diajarkan untuk mendobrak
mental block ini. Bagaimana caranya?
Caranya unik dan asyik! Selama satu minggu, 4 hari tepatnya, kami -- aku dan 49 teman lainnya -- diwajibkan menyetor satu tulisan per hari, yang hanya boleh ditulis selama tiga menit saja. Tulisan harus spontan, tentang apa saja yang terlintas di kepala. Tidak usah memikirkan tata bahasa,
typo atau logika dulu, yang penting nulis!
Sounds unbelievable? At first it was! Apa coba yang bisa ditulis selama 3 menit? Tapi setelah kucoba,
guess what? Ternyata ada baaannyaaaakkk sekali ide di kepala yang dapat dituangkan, sehingga rasanya tiga menit itu kurang!
Kalian ngga percaya? Aku kasih contoh ya. Misalnya saja nih, kalau kalian adalah emak-emak macam aku, coba deh jalan ke dapur. Lihat kompor, pikirkan apa yang kalian lakukan dengan kompor itu pagi ini? Masak apa tadi? Apa ada insiden atau kejadian khusus hari ini dengan kompor itu? Nah, itu saja sudah bisa jadi satu paragraf lho. Ah, cuma satu paragraf... Eitss! Jangan remehkan satu paragraf ya, karena satu novel itu diawali oleh satu paragraf dulu, bahkan mungkin satu kata saja!
Ide itu ada di sekitar kita. Bertebaran di mana-mana, jika saja kita mau meluangkan waktu sejenak untuk membuka pikiran dan membiarkannya masuk.
Latihan menulis spontan selama tiga menit setiap hari juga menyadarkanku tentang betapa berharganya waktu yang selama ini kuanggap tidak ada. Ya, sebagai ibu dengan bayi berusia 21 bulan, aku sering beralasan bahwa waktuku habis untuk menemani si kecil. Padahal, waktu luangku sangat banyak! Sebagai contoh saja, dulu saat Defai tidur, aku sering menghabiskan waktu dengan
browsing ngga jelas dan lihat-lihat IG lucu tanpa tujuan. Niat awal sih
refreshing, eh bablas terus sampai Defai terbangun lagi. Padahal jika dalam waktu tiga menit saja aku sudah bisa menulis satu paragraf, coba hitung berapa banyak yang bisa aku hasilkan jika aku mau fokus menulis selama 30 menit saja. Dan waktu luangku setiap harinya ya pasti lebih dari 30 menit! Dududuhh... berapa banyak waktu luang yang sudah kubuang sia-sia selama ini...
Teh Rena juga memberikan masukan bahwa waktu terbaik untuk menulis adalah di dini hari sebelum masuk waktu subuh. Ini masuk akal, karena saat itu otak masih segar, belum ada distraksi -- asal saja Defai belum ikutan bangun juga hehehe...
Aku sih fleksibel dalam soal waktu, asal tidak mengganggu waktuku bersama Defai saat dia terbangun. InsyaaAllah aku sudah membuat komitmen untuk sebisa mungkin tidak berada di depan laptop dan
handphone saat bersama Defai. Lagipula, Defai tidak mengizinkan. Dia memperbolehkanku masak di dapur, atau lama di depan mesin cuci atau ke halaman untuk menjemur baju, tapi langsung rewel begitu aku duduk di depan laptop. Tanganku langsung ditarik-tarik. Defai tidak mau diduakan dengan
gadget, Buuunn! ^^
Nah, ini adalah empat tulisanku selama empat hari tantangan tiga menit menulis spontan:
Tulisan 1:
Tangannya memeluk Kiara erat. Masih terasa betapa napas Kiara terengah sisa tangisnya tadi, tapi perlahan mulai bertambah tenang. Ani masih mendekap erat. Pikirannya melayang tak keruan. Ia jatuh terduduk. Separuh tak menyangka bahwa dirinya mampu berbuat seperti tadi. Perlahan dekapannya meregang. Diletakkannya putri yang katanya, kesayangannya itu, perlahan di buaian. Perlahan sekali. Seperti meletakkan berlian pusaka keluarga.
Tulisan 2:
Tanganku menyingkap tirai jendela. Malam begitu gelap, birunya seperti batu safir. Kaca jendela terasa dingin, kontras dengan pengapnya hatiku. Aku mendorong bingkai jendela dan semilir angin malam menggelitik menggodaku untuk membuka jendela lebih lebar lagi. Jangan buka jendela malam-malam, kata ibuku, angin malam jahat. Tapi mana mungkin angin malam sepoi-sepoi ini bisa jahat. Semerbak bau tanah basah menyergap hidungku.
Tulisan 3:
Judul: A day in a life of a translator mom
Tangan-tangan kecilnya menjulur ingin mengetuk-ngetuk keyboard juga. Pikiranku berkejaran menerjemahkan kata-kata di layar, sementara bibir bersenandung menyanyikan lagu untuk menenangkannya. Aku pasti bisa bekerja lebih cepat dengan dua tangan, tapi tangan kiriku sudah cukup kaku mendekapnya selama satu jam ini. Hhhh... dia sedang sedikit demam dan ingin selalu kugendong, sementara deadline di depan mata. Mom... is a multitasking job, no kidding!
Tulisan 4:
Judul: Anak
Mengapa mereka melakukannya begitu rupa? Mengapa mereka mau melakukannya, berkorban waktu, tenaga, uang dan emosi untuk mendapatkan anak? Sebagian bahkan menempuh cara yang tidak masuk akal. Sebagian mengorbankan pernikahan mereka. Apakah anak sedemikian berharga, lebih berharga dari rasa cinta pada keluarga besar, kepada pasangan? Apakah anak sesuatu yang absolut? Anak... sesuatu yang tidak diketahui pasti masa depannya, diperjuangkan keberadaannya dengan mengorbankan segalanya...
Tulisanku selanjutnya tentang belajar menulis, di blogpost berikutnya yaaa...