Kepo vs Care -- Seorang teman A posting sesuatu di grup WA, sambil menyebut nama seorang teman B. Teman C menyahut bahwa, Eh B kan udah ngga ada di grup. Aku ikut nimbrung dan bertanya, Lho kapan B left group? Kenapa?
C menjawab sambil memberi ikon tertawa, Kamu kepo ih. Dan aku berhenti di situ, hanya membalas dengan ikon senyum miring.
Kepo. Ada yang bilang bahwa istilah yang populer beberapa tahun belakangan ini, adalah singkatan dari Knowing Every Particular Object, alias pengin tahu sagala rupa tentang semua hal. Tapi dari apa yang dijelaskan oleh bahasawan Ivan Lanin, kepo berasal dari bahasa Singlish alias Singaporean English Kay Poh (Kaypo) yang berarti nosey parker atau busy body. Maknanya adalah orang yang sok sibuk dan mengganggu (urusan orang lain).
Hey, aku ngga kepo ah. Aku perhatian.
Lain waktu, seorang kawan mem-posting kalimat di FB: Ya Allah, berilah kami kekuatan untuk menghadapi ujianMu. Tidak ada daya dan kekuatan selain dariMu, dengan tambahan ikon wajah menangis 3 buah. Merasa ikut sedih dan simpati, aku menulis di kolom Komentar: Ada apa. Pren?
Setelah beberapa saat, komentarku dibalasnya dengan : Ih kamu kepo, ih.
Deg!
Tak urung rasa sedih dan simpati meluntur, berganti dengan sedikit geram berbalut istighfar. Demi sopan santun, aku masih sempatkan membalas dengan dengan kata-kata, Semoga Allah menguatkan.
Seorang sepupu posting kabar di grup WA keluarga, memohon doa bagi bayinya yang dirawat di rumah sakit. Dari berita terputus-putus dan pertemuan yang sesekali aku merasa bahwa bahkan kehamilannya pun sudah agak bermasalah.
Aku berbincang pada suami, kira-kira sakit apa ya keponakan kami itu. Suami mengangkat bahu, dan aku paham bahwa kalau suamiku memang bukan tipe orang yang menaruh perhatian terhadap masalah seperti itu.
Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan si bayi dan ibunya. Aku kebetulan pernah bertemu dengannya saat kontrol ke rumah sakit. Aku ingat bahwa suamiku menyenggol lenganku pelan, melarangku memandangi perut sepupu kami itu. Tubuhnya kurus dan perutnya masih saja kecil di usia kehamilan yang menginjak 7 bulan, dikuatkan oleh ucapan si ibunya sendiri bahwa menurut dokter kandungan, sang calon bayi kurang bobotnya.
Sambil lalu sepupu kami berkata bahwa dia susah makan di kehamilannya ini. Aku menghela napas dalam. Dari ucapannya sendiri, bahkan dari cerita seluruh keluarganya aku tahu bahwa ini adalah kehamilan yang sangat diharapkan setelah bertahun-tahun menunggu. Lalu dia bilang dia susah makan?
Selepas pamit, aku berkata pada suami bahwa kalau saja aku lebih akrab dengannya, mungkin aku akan memarahinya, menyuruhnya banyak makan, mengingatkannya bahwa dia sangat mendambakan sang buah hati sehingga dia harus bisa mengalahkan susah makan-nya itu. Aku mencerocos terus penuh semangat.
"Aku tuh pengen banget nanya, kok bisa sih susah makan? Kan kasihan bayinya!" ucapku gemas.
Suamiku menggeleng. "Jangan kepo, ah."
Aku tersentak.
"Bun bukan kepo, Bun perhatian," aku menegaskan, tidak terima dikatai kepo.
"Ayah tahu maksud Bun baik," jelas suamiku perlahan melihatku mengernyitkan kening.
"Ayah tahu, Bun ingin menunjukkan perhatian Bun. Tapi Bun bukan orang yang tepat untuk bertanya ini-itu dan memberi nasihat anu-inu," lanjut suamiku. "Ada dokter kandungannya, suaminya, orangtuanya yang lebih pantas untuk memberi nasihat,"
"Nasihat kan bisa datang dari siapa saja, Yah," aku masih belum puas.
"Tapi Bun kan ngga dekat sama dia," ucap suamiku. "Apa Bun tahu cara bicara dengan dia? Tahu waktu yang tepat untuk bicara? Suasana hatinya seperti apa? Ini masalah sensitif lho."
Aku sedikit terperangah, tidak menyangka bahwa suamiku berpikir sedemikian jauh. Dan aku harus mengangguk setuju dengan pemikirannya.
"Jangan sampai niat baik kita diterima dengan tidak baik. Jangan sampai dianggap kepo dan sok ingin ikut campur urusan orang," suamiku tersenyum.
"Tapi kasihan bayinya," aku berkeras.
"Doakan saja," pungkas suamiku.
Tapi aku masih belum puas.
Kenapa jadi begitu sulit menyatakan perhatian?
***
#tantanganjuniforsen #3
No comments:
Post a Comment