Di lantai dua, ada dua buah kamar tidur untuk Teh Sari dan Teh Gigi, serta sebuah kamar mandi. Untuk naik ke lantai dua, kami menggunakan tanggal kecil di sisi kiri ruang tamu.
Orangtua Teh Gigi adalah pemilik rumah ini. Teh Uwi dan Teh Sari adalah teman dekat Teh Gigi, meski mereka berbeda jurusan. Kuliah mereka semua dua tingkat di atasku.
Aku adalah si anak baru, anak bawang.
Bagaimana aku bisa ikut nge-kost bareng mereka? Beruntungnya aku, Teh Sari adalah cs-nya kakakku di SMA. Jadi saat kakakku tahu aku lolos UMPTN untuk kuliah di kota kecil yang terkenal dengan tahu Sumedangnya ini, dia langsung menghubungi Teh Sari. Biar Sari yang carikan tempat kost, kamu ikut saja sama dia, ujar kakakku dulu.
Teh Gigi ini, hmm … kaya lah ya. Jelas, dia kan anak yang punya rumah kostan ini. Konon, menurut Mbak Sari, tadinya Teh Gigi tidak mau menarik uang sewa untuk Teh Uwi dan Teh Sari. Tapi Teh Uwi dan Teh Sari tidak enak hati, masa sih ngga bayar sama sekali … rasanya kok seperti taking advantage too much. Akhirnya Teh Gigi menetapkan uang sewa yang, menurut Teh Sari juga, sebenarnya jauh di bawah harga yang pantas untuk kamar dan fasilitas yang kami gunakan. Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Teh Sari.
Oke, Teh Gigi adalah mahasiswi tajir.
Semakin lama mengenal Teh Gigi, aku semakin melihat ke-tajir-annya. Dia pakai mobil pribadi untuk ke kampus, itu yang pertama. Hei, kami masih pakai angkot untuk sampai ke gerbang kampus, lalu jalan kaki atau menunggu bus kuning yang kecepatan jalannya saingan sama ulat keket, untuk bisa sampai ke gedung jurusan kami. Yang kedua, dia sering banget gonta-ganti hape. Njir, tahun 1998 itu, hape masih barang langka, bok! Harga kartu perdana masih ratusan ribu! Cuma orang-orang kaya yang bisa punya hape. Jadi kalau Teh Gigi sampai dengan mudahnya gonta-ganti hape, itu sangat lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa dia (anak) orang tajir.
Yang ketiga, kue-kue yang dia bawa ke kostan selalu enak-enak … hehehe. Teh Gigi adalah orang yang dermawan. Seperti setiap pagi dia selalu menawarkan diri untuk mengantar kami semua dengan Cherokee (iyes, Cherooke … mobil yang besar dan gagah) hitamnya, dia juga selalu menawarkan semua kue atau kudapan yang dia punya pada kami semua. Mac and cheese-nya sangat yummy, berani kejunya, seperti juga kastangelnya yang penuh keju edam baik di setiap batang dan taburannya.
Tentu saja tidak setiap pagi kami menerima tawaran tumpangan dari Teh Gigi. Selain malu dan sungkan, kan tidak setiap hari jadwal kuliah kami sama. Bagaimana dengan tawaran kue-kuenya? Hmm … aku punya cerita memalukan tentang ini … heuu … .
Jadi pada suatu hari, Teh Gigi membawa satu wadah plastik bening besar berisi puding lapis cokelat vanila dan moka, yang bagian atasnya berlapis whip cream lembut berwarna putih. Wadah plastik itu besar, ukurannya memenuhi satu tingkat kulkas bagian bawah, meski tingginya tidak sampai 5 cm. Seperti wadah tempat donat di warung depan gerbang kampus, tapi agak lebih besar sedikit.
Tentu saja, Teh Gigi menawarkan puding itu kepada kami semua, sambil mengatakan bahwa makanan itu adalah pemberian dari tantenya yang ada di Bandung. Di atas meja makan, Teh Sari mengiris irisan panjang lalu memotong-motongnya lagi menjadi kotak-kotak kecil seukuran kira-kira 5x5x3 cm. Aku dan Teh Uwi menunggu sambil memegang piring kecil penuh pengharapan, puding ini harum sekali!
Dan memang, mungkin aku lebay, tapi puding itu bisa jadi adalah puding terenak yang aku rasakan selama hidupku! Aku bukan komentator kuliner, tapi cokelatnya sangat terasa meski tidak berlebih, dengan kelembutan yang membuat puding ini hancur di mulut hanya dengan tekanan ringan lidah saja. Kombinasinya dengan vanila dan moka, hmmm … siapa sih yang bikin puding enak ini? Di bagian paling atas tepat di bawah whip cream, ada selapis tipis bening agar-agar yang tidak terlalu manis, yang cukup kaku untuk dikunyah, memberi sensasi tersendiri di antara kelembutan puding dan whip cream.
Demi sopan santun, aku mengucapkan cukup, terima kasih saat Teh Gigi menawarkan untuk mengambil sepotong puding lagi.
Padahal … .
Sore itu, aku menunggu. Sejenak kemudian, aku mengintip ke luar kamar, meyakinkan diri bahwa tidak ada siapa-siapa di dapur. Kostan terdengar sepi. Mungkin mereka bertiga tengah ke luar bersama-sama. Aku mengendap-endap mendekati kulkas. Kubuka pintunya, lalu menarik napas melihat … di situlah dia, puding itu.
Menungguku.
Melambaikan tangan, memanggil.
“Aku tahu kau menginginkanku,” bisiknya lembut.
Aku setengah berjongkok di depan kulkas. Aku menarik wadah plastik itu hingga hanya setengah bagiannya tertumpu pada alas rak kulkas, setengahnya bagiannya kutahan oleh lututku. Kubuka tutup wadah plastiknya. Tangan kiriku menggenggam sendok dan mangkuk kecil. Kuambil tiga sendok bagian pudingnya saja, tanpa mengganggu lapisan agar-agarnya, lalu kupasang kembali tutup wadahnya. Kuputar wadah plastik itu, hingga jika dilihat dari depan, tidak akan terlihat bahwa sebagian puding itu telah melandai.
Aku menikmati tiga sendok puding lezat itu di dalam kamar.
Dan begitulah, beberapa kali di sore dan malam hari itu, aku bolak-balik ke kulkas, mencuil sesendok demi sesendok puding cokelat-vanila-moka itu, tanpa hati nurani, tanpa rasa takut, karena tidak ada orang lain di kostan. Sedikit demi sedikit, puding itu terus melandai, hingga mendekati setengahnya.
Hingga esok paginya… .
Aku bergegas bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Karena hari itu ada praktikum Kimia Anorganik, secara otomatis aku bergerak ke arah kulkas, hendak mengambil satu kotak susu stroberi yang kusimpan di rak pintu kulkas. Aku sudah terbiasa untuk selalu minum susu seusai praktikum kimia. Susu adalah penawar racun.
Dan, kotak puding itu sudah tidak ada. Menghilang.
Tiba-tiba saja aku terserang rasa malu dan bersalah yang sangat hebat. Aku si pencuri puding. Pencuri yang memalukan. Hanya ada empat orang di kostan ini, dan tiga di antaranya tidak ada di tempat saat puding itu kehilangan puding-nya. Hanya aku yang ada di kostan, hanya aku yang pantas dicurigai!
Oh em ji … betapa aku sudah merendahkan diriku begitu rupa karena sepotong puding lezat tiada tara!
Dan mereka bertiga tidak berkata apa-apa. Tidak mengkonfrontasiku, tidak menyidangku di meja makan, tidak menginterogasiku.
Mereka diam, tapi memberiku cukup tanda-tanda untuk mengatakan, kami tahu.
Cara ini lebih efektif menyadarkanku. Entah mungkin memang sudah waktunya kesadaranku datang, karena semalam aku seperti bukan diriku sendiri. Sungguh, aku bukan pencuri. Malah, aku berani menilai diriku sendiri sebagai orang yang jujur selama ini, tapi entah kenapa, puding itu membuatku lupa diri.
Dan aku sungguh menghargai teguran diam mereka.
Sempat ada rasa canggung di antara kami, namun seiring waktu, kami kembali seperti biasa, dan aku tidak pernah lagi mencuri ... puding.
#tantanganjuniforsen #5
#tulisantemahumanis
Baik2 berarti mereka ya mba :). Tapi bisa jadi, mereka juga tidak mempermasalahkan puding yg dimakan. Maksdnya gini, rumah mama dulu sempet trima kos kosan. Di aediain kulkas dll. Nah, waktu itu mama pernah bilang ke aku, tp ga ke anak kos, kalo sebenernya apapun makanan minuman yg mama taro di kulkas, ya sebenernya bebas dimakan. Toh itu kulkas ditaro di tempat umum yg anak kos bisa buka kapan aja. Kec kalo memang makanan minumannya punya pribadi, simpen dikulkas lain atooo, kasih kertas di atas wadahnya, kalo itu punya si A misalnya :D.
ReplyDeleteTapi memang sih, kadang dari kitanya ttp ga enak ya ngambil tanpa bilang :). Akupun begitu kok..