Setiap orang punya luka, setiap orang punya kisah duka. Masing-masing mungkin punya cara sendiri untuk menyembuhkannya. Luka dan duka itu, bisa saja sembuh 'seiring waktu berlalu'. Ada orang-orang kuat yang bisa melakukan upaya penyembuhan mandiri, ada juga yang butuh bantuan dari luar untuk bisa sembuh.
Kadang kala, kita bingung dan kalut saat terluka. Tidak tahu harus ke mana mengadu. Tentu kita punya Allah yang Maha Penyembuh, tetapi Allah juga mewajibkan usaha atau ikhtiar beriringan dengan doa.
Tahukah kamu, menulis bisa jadi salah satu cara untuk menyembuhkan luka?
Aku hadir di Workshop Self Healing with Writing yang diadakan oleh Komunitas Ibu Bahagia Indonesia, untuk mengetahui bagaimana tepatnya cara melakukan penyembuhan diri melalui menulis. Workshop ini dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2020, bertempat di Gedung ACT, Menara 165 Jakarta Selatan.
Luka dan duka yang kumaksud adalah emosi-emosi negatif yang menumpuk di hati dan pikiran, menimbulkan stress dan bahkan sangat mungkin mengganggu kestabilan jiwa.
Pernahkah kalian mengalami, sedih dan marah pada seseorang atau sesuatu yang sulit diungkapkan, namun lalu termanifestasi pada perilaku buruk pada anak-anak dan keluarga? Marah pada suami, lalu melampiaskannya pada anak-anak? Duh ... :(
Kita semua juga tahu, bahwa perempuan punya kebutuhan untuk menyalurkan sekurangnya 20.000 kata per hari. Kurang dari ini, konon katanya akan membuat perempuan rentan stress. Bagaimana dengan para introvert yang tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain? Jika mereka punya masalah, apa yang harus dilakukan?
Ternyata, mereka bisa menuliskannya.
Menulis, menurut Mbak Santi Yudisia Wisudanti S.Psi, M.Psi, psikolog sekaligus penulis buku yang menjadi pembicara di workshop ini, bisa menjadi katarsis atau alat untuk melepaskan emosi negatif yang tersimpan dalam hati.
Menulis memiliki beberapa keunggulan:
Kadang kala, kita bingung dan kalut saat terluka. Tidak tahu harus ke mana mengadu. Tentu kita punya Allah yang Maha Penyembuh, tetapi Allah juga mewajibkan usaha atau ikhtiar beriringan dengan doa.
Tahukah kamu, menulis bisa jadi salah satu cara untuk menyembuhkan luka?
Aku hadir di Workshop Self Healing with Writing yang diadakan oleh Komunitas Ibu Bahagia Indonesia, untuk mengetahui bagaimana tepatnya cara melakukan penyembuhan diri melalui menulis. Workshop ini dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2020, bertempat di Gedung ACT, Menara 165 Jakarta Selatan.
Aku hadir di Workshop ini! |
Aku dan para pembicara, Teh Rena Puspa dan Teh Sinta |
Ingat yaaa, luka yang kumaksud di sini adalah luka hati yang bukan sirosis atau hepatitis. Kalau ini mah, harus ke dokter spesialis penyakit dalam :')
Luka dan duka yang kumaksud adalah emosi-emosi negatif yang menumpuk di hati dan pikiran, menimbulkan stress dan bahkan sangat mungkin mengganggu kestabilan jiwa.
Pernahkah kalian mengalami, sedih dan marah pada seseorang atau sesuatu yang sulit diungkapkan, namun lalu termanifestasi pada perilaku buruk pada anak-anak dan keluarga? Marah pada suami, lalu melampiaskannya pada anak-anak? Duh ... :(
Kita semua juga tahu, bahwa perempuan punya kebutuhan untuk menyalurkan sekurangnya 20.000 kata per hari. Kurang dari ini, konon katanya akan membuat perempuan rentan stress. Bagaimana dengan para introvert yang tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain? Jika mereka punya masalah, apa yang harus dilakukan?
Ternyata, mereka bisa menuliskannya.
Menulis, menurut Mbak Santi Yudisia Wisudanti S.Psi, M.Psi, psikolog sekaligus penulis buku yang menjadi pembicara di workshop ini, bisa menjadi katarsis atau alat untuk melepaskan emosi negatif yang tersimpan dalam hati.
Menulis memiliki beberapa keunggulan:
- mengendapkan perasaan
- menajamkan pikiran
- meredakan kemarahan
- memetik kebijakan
- berpikir solutif untuk menghasilkan tindakan konstruktif
Kadang kita -- atau aku tepatnya -- mengalami yang namanya lost for words atau kehilangan kata-kata saat hendak mengungkapkan sesuatu. Kesel banget kan kalau terbata-bata tepat saat hendak marah-marah hehehe .... Bahkan mungkin kita malah mengungkapkan perasaan kita dengan kata-kata yang salah yang semakin mengeruhkan suasana.
Ada baiknya, saat kita marah atau kesal, ambil jarak dengan sumber kemarahan. Coba hitung mundur dari 10 ke 1. Sambil tarik napas dalam-dalam dan istighfar. Lalu ambil kertas dan tuliskan unek-unek kita di situ.
Menuliskan masalah dapat dilakukan di mana saja, di buku diari rahasia atau di selembar kertas -- yang tentunya kemudian harus disimpan baik-baik hehehe ...
Jika mandek kehilangan kata-kata, berhenti sejenak. Endapkan perasaan dan tajamkan pikiran. Tanya lagi pada diri kita sendiri: Apa sih yang bikin kita marah? Masalah intinya apa?
Jika amarah telah reda dan kita sudah bisa mengetahui duduk persoalannya dengan jernih, malah sangat mungkin bagi kita untuk dapat memetik kebijakan dari situasi yang kita hadapi. Lalu selanjutnya tentu saja, memikirkan cara untuk menyelesaikannya dengan baik.
Jika amarah telah reda, luka dan duka telah teratasi, insyaAllah kita bisa mencapai bahagia :)
Aku ingat, aku menulis diari sejak sekolah dasar hingga kuliah. Apa yang kurasa, kutulis di sana. Aku juga ingat kadang buku diariku jadi korban corat-coret jika aku sedang marah. Dan tulisanku menjadi 'sedikit' lebih indah jika sedang senang.
Baru kusadari sekarang, aku yang introvert ini telah lama menjadikan menulis sebagai cara untuk berbagi cerita. Setelah aku punya suami, aku meninggalkan kebiasaan bercerita di diari, beralih ke dirinya sebagai tempat menumpahkan jatah 20.000 kata per hariku hehehe ....
Writing can be your journey toward happiness ....
Next blogpost, insyaAllah akan mengupas materi kedua workshop dari Teh Rena Puspa yaitu "Sukses itu Bahagia" :)
No comments:
Post a Comment