“Bunda ge … gelisss.”
Dia terkikik geli. Aku menoleh dan tersenyum lebar ke arah putri
4,5 tahunku itu, lalu balas berbisik, “Defai oge geulis!”
Terlepas dari kebenaran fakta (ehem!) dan pujiannya yang tulus, bisikan Defai ke telingaku terdengar lebih
istimewa karena dia mengatakan geulis,
sebuah kosa kata bahasa Sunda yang artinya cantik.
Kenapa jadi lebih istimewa? Karena bisikan mesranya menyiratkan titik awal
keberhasilan misiku.
Memperkenalkan anakku ke bahasa ibunya.
Waktu kecil, aku tidak pernah suka pelajaran bahasa daerah. Karena
aku tinggal di tataran Sunda, otomatis pelajaran bahasa daerah di sekolah
adalah bahasa Sunda. Aku ingat bahwa duluuu ... waktu kelas dua atau tiga Sekolah Dasar,
aku pernah dapat hasil ulangan dengan nilai dua atau tiga *tutup muka.
Rasanya, pelajaran itulah yang paling sulit di antara
pelajaran-pelajaran lain. Aku kelabakan menghafal tiga tingkatan bahasanya. Ya,
dalam bahasa Sunda ada tiga tingkat bahasa yaitu basa kasar, basa loma/bahasa
akrab dan basa lemes/bahasa santun yang penggunaannya berbeda-beda
tergantung situasi dan kondisi dengan siapa kita bicara. Belum lagi segala
hapalan tentang 17 pupuh yang berbeda … aaarrghh!
Sampai SMP, antipatiku terhadap pelajaran ini tidak tergoyahkan. Lega rasanya saat tidak harus menghadapinya lagi di SMK.
Karena ketidaksukaanku itu, aku merasa wajar saat anak
pertama dan keduaku juga tidak menyukai pelajaran bahasa daerah di SD-nya.
Mungkin ini genetik, begitu pikirku. Buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya.
Kalau sudah berhubungan dengan pelajaran bahasa Sunda, aku seakan lupa dengan prinsip yang kutanamkan kepada anak-anak, tentang berusaha lebih keras, dan hasil yang tidak akan mengkhianati usaha.
Aku lahir dan tinggal di Bogor yang kebanyakan masyarakatnya adalah pengguna basa Sunda (meski relatif kasar), dengan kedua orangtua yang kelahiran Cianjur (yang masyarakatnya adalah pengguna basa Sunda lemes). Bahasa Sunda adalah bahasa ibuku.
Lalu kenapa bagiku dan anak-anakku bahasa Sunda begitu sulit? Jangankan untuk menguasainya, bahkan
untuk menyukainya pun enggan?
Saat aku bertanya kepada Izzan anakku yang kelas 5 SD, dia mengungkapkan bahwa pelajaran bahasa Sunda sulit karena tidak mengerti arti kata-katanya.
Bagaimana dengan pelajaran bahasa Inggris yang notabene
juga bukan bahasa yang digunakan sehari-hari, tetapi lebih mudah dikuasainya?
Izzan menjawab bahwa jam pelajaran bahasa Inggris lebih
banyak dibanding bahasa Sunda. Lagi pula, dia mendapat lebih banyak asupan kosa
kata bahasa Inggris dari film yang ditontonnya dan buku-buku yang dibacanya.
Kembali ke masa kecilku, membuatku teringat bahwa aku juga lebih
menyukai dan lebih mudah menguasai bahasa Inggris adalah karena aku telah terpapar bahasa Inggris sejak kecil,
lewat musik dan bacaan. Hampir setiap hari kedua kakakku menyetel musik
berbahasa Inggris dan sangat mudah bagiku untuk menemukan bahan bacaan anak-anak dalam
bahasa Inggris. Sebaliknya, paparan terhadap bahasa Sunda sangat minim. Di
rumah maupun di sekolah, aku terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa percakapan sehari-hari. Rasanya, aku hanya mendengar musik Sunda saat resepsi
pernikahan atau khitanan. Bacaan berbahasa Sunda? Hanya ada di buku-buku
pelajaran yang membosankan dan majalah Mangle yang bahasanya terlalu kompleks
untuk anak-anak.
Aku menatap Defai si bungsu yang berusia 4,5 tahun. Dapatkah aku menyelamatkannya dari hal yang dihadapi kedua kakaknya? Aku tidak berharap muluk agar dia menguasai bahasa Sunda dengan sempurna, tetapi setidaknya dia berhak untuk lebih mengenal bahasa ibunya.
Tak kenal maka tak sayang.
Alah bisa karena biasa.
Aku yakin, memaparkan Defai kepada bahasa ibunya sejak
dini, akan membuatnya lebih mudah mempelajari bahasa Sunda di tingkat sekolah nanti, sehingga lebih mudah pula untuk menyukainya. Dengan diawali oleh rasa suka, maka segalanya akan jadi lebih mudah dan menyenangkan.
Nah, bagaimana caranya memperkenalkan Defai kepada bahasa
Sunda dengan cara yang menyenangkan?
Salah satunya adalah melalui dongeng cerita bergambar. Defai sangat suka saat aku membaca nyaring dongeng cerita bergambar!
Tetapi dari mana kita bisa dapat buku dongeng cerita bergambar berbahasa daerah? Dan bukankah buku-buku bergambar
itu tidak murah harganya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab oleh adanya Let’s Read.
Perpustakaan digital yang dapat diakses melalui website Let's Read dan aplikasi di Google Play ini, is simply amazing!
Penggunaannya sangat mudah, dan yang jelas ada banyaaak
sekali buku dongeng cerita bergambar yang
dapat dibaca, diunduh dan dicetak, dan berbahasa
Sunda!
Langkah-langkah membuka Let's Read dari situs web:
- Ketik 'Let's Read' di mesin mencari, dan akan segera muncul tautan ke situs web dan tautan ke aplikasi di Google Play.
- Klik tanda tiga garis di pojok kiri atas (ditunjukkan oleh lingkaran merah).
- Pilih bahasa yang diinginkan di kolom Language dan tingkat bacaan di Reading Level.
- Aku memilih Sundanese dan My First Book, maka ...
- Muncullah buku Itung jeung Ucapkeun, lalu ...
- Klik buku dan kita siap mendampingi buah hati membaca!
- Klik instal di aplikasi 'Let's Read'.
- Pilih bahasa pengantar aplikasi.
- Pilih bahasa buku.
- Muncul pilihan buku-buku ...
- dan 6. Klik buku dan kita siap mendampingi buah hati membaca!
Iya anak harus diajari bahasa daerah juga yaa
ReplyDelete