Dia seorang penjual gorengan. Kita sebut saja namanya Mang Sarman (bukan nama sebenarnya). Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama Mang Sarman sudah berjualan gorengan, tetapi seingatku, sejak SMP aku sudah sering mencegatnya jika dia lewat depan rumah. Kroketnya enak, isi bihun dan sedikit irisan wortel saja, tetapi rasanya sangat pas di lidah. Bala-balanya gurih tetapi tidak terlalu gurih. Mantap banget dimakan saat hangat, ditemani sebuah cabe rawit.
Dulu Mang
Sarman masih gagah, berjalan keliling kampung ibuku sambil memanggul pikulan
gorengan. Kamu masih ingat tukang gorengan yang memikul bawaannya? Di satu
pikulan ada penggorengan dengan kompor di bawahnya. Di pikulan lain ada tempat
membuat adonan, juga laci tempat uang. Zaman duluuu, ada banyak penjual yang
menjajakan dagangannya dengan cara dipikul, berjalan dari satu kampung ke
kampung lain. Tukang bubur ayam, tukang soto santan, tukang gorengan, dulu
semua dipikul.
Kembali ke
masa kini. Waktu itu aku sedang mengunjungi Mama, silaturahim mingguan, seperti
biasanya. Saat melihat seorang penjual gorengan sedang melayani pembeli di
depan rumah Mama, aku berusaha mengingat-ingat. Aku bertanya pada Mama untuk
memastikan dan benar saja, itu Mang Sarman.
Kata Mama,
Mang Sarman masih suka lewat sini, tetapi sudah jarang banget. Jadi saat aku
melihatnya, kuanggap itu sebagai rezeki. Aku menghampirinya.
Mang Sarman
sudah renta. Tentu saja, kini sudah sekian puluh tahun berlalu dari masa aku
SMP. Namun, Mang Sarman masih tetap dengan ‘gayanya’. Memanggul pikulan
gorengan.
Aku membeli
gorengan. Aku antri di belakang pembeli-pembeli kecil yang ribut. Untung favoritku
yaitu kroket isi bihun, bala-bala, dan combro masih ada setelah mereka selesai.
Aku mengucapkan terima kasih dan memandanginya saat dia bangkit dan berjalan
pergi, tertatih-tatih membawa pikulan yang menurutku pasti terasa kian berat di
bahu yang ringkih itu. Dia tidak duduk lama, menyapa atau mengajakku mengobrol.
Tentu saja. Aku bukan seorang reguler. Aku hanya seorang di antara sekian
banyak pembeli gorengannya.
“Gorengannya
masih enak aja,” ucapku sambil menuangkan isi kantong kertas ke piring.
Mama
mengangguk. “Iya, enggak berubah sejak dulu.”
“Enggak
berubah juga gaya jualannya. Masih dipikul begitu.”
“Memang harusnya
bagaimana?” Mama kelihatan bingung melihat aku menghela napas panjang.
“Kalau jualannya
enak, ya yang mau beli juga pasti banyak. Tadi aja yang ngerubungin sampe
segitunya. Mestinya jualannya berkembang.”
Mama
tertawa. “Gimana caranya?”
Aku jadi
bingung sendiri. “Yah, gimana kek. Sayang banget gorengan seenak itu enggak
disebarkan ke seluruh dunia.” Aku mulai lebay.
Namun,
benar aku memang gemas. Mungkin karena didorong oleh rasa prihatin juga melihat
Mang Sarman yang renta masih harus tetap di status quo seperti puluhan
tahun lalu, berjalan dari kampung ke kampung memikul jualan yang tidak semakin
ringan, sementara beban hidup makin ke sini semakin berat, padahal gorengannya
begitu enak!
“Bisa bikin
kios, jadi enggak perlu jalan keliling kampung gitu. Atau kalau memang mau keliling,
ya minta ke orang lain yang jalan-jalan. Mang Sarmannya nungguin aja di rumah.
Jadinya kayak model franchise gitu, loh. Mang Sarman yang punya resep atau bikin
adonan supaya rasanya standar. Terus orang-orang lain yang jualin.” Aku makin
menggebu-gebu.
“Yah,
ngebayangin doang sih gampang. Tapi ngejalaninnya enggak segampang itu. Yang
pertama, modalnya dari mana? Emang bikin kios enggak butuh modal? Emang nyuruh
orang jualin jualan kita enggak butuh modal?” Mama mengangkat alis.
Aku tercenung.
“Butuh
banget! Modalnya gede!” lanjut Mama. “Yah, Mama enggak tahu persis sih besarnya
berapa, tapi bikin kios berarti sewa tempat, apalagi kalau Mang Sarman enggak
akan jualan di rumahnya. Minta orang-orang keliling berarti beli pikulan baru,
belum lagi menggaji orang-orang itu. Mama sih, enggak tahu dari mana penjual
kecil macam Mang Sarman bisa dapet modal buat bikin yang seperti itu.”
Aku terduduk
di meja makan, tetapi mataku mengikuti Mama yang bangkit dan berjalan menuju
meja jahitnya. Mesin jahit Mama masih tetap sama sejak pertama kali aku tahu Mama
adalah penjahit, yaitu sejak … ya sejak aku bisa mengingat. Mesin jahit yang
sering ngadat dan bolak-balik masuk tempat servis. Kalau Mama bisa dapat
mesin jahit terbaru, yang bergerak dengan motor dan bukannya diinjak kaki,
tentu akan memudahkan pekerjaannya.
“Pengusaha
kecil bisa juga kok, dapat modal.”
“Eh?” Mama
menoleh, raut wajahnya sedikit bingung.
“Caranya
juga ngga susah-susah amat,” lanjutku sambil tersenyum.
“Minjem ke saudara?”
Mama masih mengerutkan kening. “Bisa aja kalau punya saudara yang mampu dan mau
meminjamkan. Atau ke tetangga? Atau ke … bank keliling?”
“Iiih
amit-amit, jangan, ah!” Aku membelalak. “Bank keliling tuh rentenir menurutku,
sih, Ma! Bunga berbunga. Pinjamnya berapa, bayarnya berkali-kali lipat! Nagihnya
juga galak banget! Ih, jangan sampe deh, terjebak bank keliling!”
“Mama sih,
enggak pernah pinjem ke bank keliling,” ucap Mama menenangkanku. “Tapi banyak
di sini yang tergoda. Karena mereka bisa kasih pinjaman cepat, dan enggak pake
syarat-syarat yang susah, enggak pakai jaminan juga. Buat orang kampung, itu
memudahkan banget.”
“Mudah di
awal, mencekik di akhir,” tandasku.
“Memang di
mana yang bisa kasih pinjaman modal tapi gampang buat orang kecil?” tanya Mama.
“Buat UMKM aja, setau Mama sih, Mang Sarman ngga masuk ke situ. Usahanya mesti yang
udah berjuta-juta penghasilannya.”
“Mama kok
tahu?” Aku penasaran.
“Mama pernah
diceritain sama Ceu Heti, tetangga kita yang punya warung. Dia mau pinjam ke bank
buat usaha warungnya. Tapi enggak bisa karena hasil jualannya enggak masuk
kategori usaha mikro. Padahal dia punya tempat usaha dan jualan minuman ringan.
Dia pengin nambah modal buat jualan jajanan snack buat.”
“Nah, sekarang
sudah ada pembiayaan UMi, Ma,” ujarku bersemangat.
“Ultra mikro?
Apaan, tuh?”
“Iya, benar.”
Namun, Mama
masih tampak sangsi. “Memangnya beneran enggak susah mengajukan pinjaman apa tadi
… UMi?”
“Beneran
enggak susah, Ma!”
“Wah, boleh dicoba atuh ya. Asyik juga kalau bisa ganti mesin jahit baru. Nanti Mama akan ajak Ceu Heti ah, buat bareng-bareng urus UMi.”
Aku
mengangguk sambil tersenyum. UMi memang dimaksudkan untuk membantu pelaku usaha
skala perseorangan atau rumahan. Para pelaku usaha jenis ini tidak boleh
dipandang sebelah mata, karena berperan besar mengurangi jumlah pengangguran di
Indonesia. Saat lapangan pekerjaan menyempit dan tidak diimbangi oleh
membludaknya para pencari kerja, rakyat Indonesia dituntut untuk kreatif dan terus
produktif mencipta lapangan pekerjaan sendiri.
Mencipta
lapangan pekerjaan sendiri biasanya dimulai dari diri sendiri sebagai pekerja sekaligus
penyedia modal. Nah, tentunya semua orang ingin usahanya berkembang, namun
sering terkendala modal. Pembiayaan Ultra Mikro hadir sebagai solusi.
“Mama bisa
mengajukan UMi ke Bank BRI, Ma,” tambahku. “Caranya gampang, cukup datang ke Agen BRILink aja yang paling dekat."
"Wah, kebetulan ada agen BRILink dekat sini." Mama tampak semringah.
Tidak salah
mengarahkan Mama kepada BRI karena bank ini sudah sejak lama terbukti mendukung
perkembangan para pelaku usaha di Indonesia. Tak salah BRI disebut sebagai
Pahlawan UMKM. Layanan BRI untuk Indonesia juga dipermudah dengan adanya
Digitalisasi BRI.
Lewat digitalisasi,
layanan atau kegiatan perbankan BRI dapat dijalankan dengan menggunakan sarana
elektronik atau digital milik bank, dan atau melalui media digital milik calon
nasabah dan atau nasabah BRI untuk memdapatkan informasi, berkomunikasi, registrasi,
membuka rekening, bertransaksi atau menutup rekening.
Dengan
digitalisasi BRI bisa memperluas aksesibilitas layanannya, dan meningkatkan
pelayanan untuk mencapai kepuasan pelanggan.
Aku senang memperkenalkan Mama pada BRI dan UMi. Semoga saja, lewat BRI dan UMi, pelaku-pelaku usaha kecil bisa naik kelas dan terberdayakan sehingga di masa depan tingkat pengangguran bisa makin ditekan dan semakin banyak tercipta lapangan pekerjaan, demi kesejahteraan Indonesia yang semakin baik dan merata.
No comments:
Post a Comment