Sunday, October 13, 2024

Rengkuh Banyu Mahandaru dan Solusi Berkelanjutan: Inovasi Alternatif Styrofoam dari Pelepah Pinang


Rengkuh Banyu Mahandaru dan Solusi Berkelanjutan: Inovasi Alternatif Styrofoam dari Pelepah Pinang

Siapa tidak kenal Styrofoam? Aku mengenal benda ringan berwarna putih ini sejak kecil, awalnya sebagai bahan pelindung alat elektronik dalam kardus, untuk mencegah kerusakan dari goncangan saat pengiriman. Siapa yang dulu suka menggores-gores Styrofoam bekas di permukaan jalan atau tembok yang kasar, lalu berpura-pura bermain salju dengan bubuk Styrofoam? Hayo, ngaku!

Beragam jenis Styrofoam
Sumber: dari berbagai sumber

Entah sejak kapan tepatnya, Styrofoam mulai banyak dipakai sebagai alat pengemas makanan terutama makanan take-away.  Aku ingat, dulu jika membeli bubur ayam di jalan untuk dimakan di rumah, bubur akan ditempatkan di kantung kresek bening. Di rumah, kantung kresek akan dibuka atau digunting lalu isinya dituang ke mangkuk atau piring. Kemudian fungsi kantung kresek digantikan oleh Styrofoam. Dengan Styrofoam, tampilan take-away jadi lebih rapi dan representable, terlepas dari isinya bubur atau gorengan atau tahu bulat yang digoreng dadakan.


Bersamaan dengan
booming-nya penggunaan Styrofoam, muncul pemberitaan tentang dampak buruk Styrofoam bagi kesehatan. Berbagai penelitian menyatakan bahwa expanded polystyrene (EPS) atau polistiren ekspandasi atau Styrofoam ini akan berubah menjadi berbahaya jika digunakan untuk mengemas makanan panas. Panas akan melepas bahan kimia styrene, masuk ke makanan dan akan meningkatkan kemungkinan risiko paparan penyakit leukemia (kanker darah) dan limfoma (kanker kelenjar getah bening). Styrofoam juga berpotensi menyerang saraf.

Sayangnya, hingga kini masih banyak ditemui penjual makanan kaki lima atau street foods yang menggunakan Styrofoam untuk mewadahi soto mie, seblak, bakso, atau makanan berkuah panas lainnya.

Makanan berkuah panas dalam Styrofoam.
Sumber: Douglas Perkins dari pixabay.

Dalam tingkatan yang sama atau lebih berbahaya, begitu juga dampak Styrofoam untuk lingkungan.


Dampak lingkungan ini diperparah dengan sulitnya melakukan daur ulang Styrofoam. Banyak tempat tidak menerima Styrofoam dalam program daur ulang mereka, sehingga menyebabkan penumpukan limbah di tempat pembuangan.

Maka bermunculanlah berbagai aksi untuk mengurangi penggunaan Styrofoam sebagai kemasan makanan. Para penggiat reduce, reuse, dan recycle menyebarkan ajakan untuk membawa wadah makanan sendiri saat jajan. Namun, jujur saja, menurutku ini sungguh tidak praktis.

Di mana wadah makanan ini harus dicuci jika kita ingin jajan berbagai makanan dalam sekali jalan? Apakah tempat cuci tersedia? Apakah kita harus membawa banyak wadah makanan dari rumah saat kita kulineran dengan keluarga, lalu pulang ke rumah dengan membawa cucian seabrek? Bukankah jauh lebih praktis langsung membuang bekas wadah makanan sekali pakai?

Ada juga aksi untuk ‘kembali ke alam’ atau ‘kembali ke kearifan lokal’. Orang-orang menggunakan kembali daun dan besek (wadah dari anyaman bambu) untuk mengemas beberapa jenis makanan. Tentu saja wadah ini sangat ramah lingkungan. Namun, wadah alami jenis ini sangat mudah rusak dan higienisnya kurang terjamin. Wadah alami ini juga tidak praktis untuk dibawa ke mana-mana. Belum lagi soal ketersediaannya dalam skala besar.

Sang Inisiator

Rengkuh Banyu Mahandaru adalah salah satu inovator yang berhasil menemukan alternatif pengganti Styrofoam yang ramah lingkungan. Dia lahir di Garut, pada tanggal 26 Juli 1991. Dia menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Desain Produk di Institut Teknologi Bandung.

Pria ini adalah pendiri Plepah, perusahaan rintisan yang dengan fokus usaha memproduksi produk kemasan seperti piring, mangkuk, dan kontainer makanan dari pelepah pohon pinang. Tak tanggung-tanggung, hasil inovasinya ini telah menghasilkan omzet miliaran rupiah dengan kapasitas produksi mencapai 120.000 buah per bulannya. Produk dari Plepah telah merambah pasar luar negeri seperti Jepang.

Eits, tunggu dulu. Jangan langsung ke cerita sukses, dong. Kita mulai pelan-pelan ya, karena semua kesuksesan ada awal mulanya dan kisah awal mula ini tak kalah seru untuk disimak.

Di usia 27 tahun, Rengkuh beserta dua orang temannya yaitu Almira Zulfikar dan Fadhlan Makarim mendirikan Plepah. Selain berlatar belakang Pendidikan sama, ketiga orang ini juga tergabung dalam Footloose Initiative, organisasi multidisiplin yang berfokus pada inovasi sosial dan lingkungan.

Plepah

Awal mula munculnya Plepah adalah dari rasa gundah Rengkuh Banyu terhadap isu lingkungan yang sangat berpotensi timbul dari penggunaan Styrofoam yang tidak bijak.

Hal ini beririsan dengan adanya penugasan dari Badan Ekonomi Kreatif di tahun 2018 agar mereka memberikan edukasi, pendampingan dan eksplorasi bersama pelaku kreatif di daerah-daerah Indonesia.

Saat melakukan interaksi dengan masyarakat di daerah mereka menyadari ada banyak masalah yang dapat diselesaikan melalui nilai-nilai lokal.

Rengkuh dan kawan-kawan menggunakan pendekatan design thinking dan human centered design untuk melihat dan mengatasi masalah sosial yang kompleks di seluruh sektor serta mengembangkan ide-ide inovatif untuk menghadirkan sebuah perubahan yang berkelanjutan. Salah satu hasilnya adalah pemberdayaan masyarakat di area konservasi melalui pengolahan produk non-kayu dan limbah agrikultur.

Kelompok Plepah mengunjungi langsung para petani, khususnya yang berada di Jambi, Sumatera Selatan dan area lain menanam pinang sebagai komoditi sampingan. Kebun pinang biasanya digunakan sebagai pembatas kebun utama yang berisi tanaman kelapa sawit dan karet. Buah pinang biasanya diekspor ke India dan Cina.

Luas area kebun pinang di Sumatera totalnya sekitar 150.000 hektar dengan Jambi dan Sumatera Selatan sebagai provinsi yang paling paling banyak memiliki perkebunan pinang. Pelepah pinang juga dianggap sebagai limbah. Malah pada musim hujan, pelepah ini menjadi berbahaya karena dapat dijadikan sarang nyamuk berkembang biak.

Muncullah ide untuk mengembangkan potensi pelepah pinang untuk menjawab tantangan isu lingkungan.

“Inisiatif ini, di luar isu lingkungan adalah upaya meningkatkan nilai tambah dari limbah pertanian. Dulu orang mungkin tidak terfokus untuk melihat bahwa sektor pertanian adalah penyumbang emisi karbon tertinggi,” ujar Rengkuh Banyu kepada majalah Tempo.

Di tahun 2018 itu, kegiatan Plepah difokuskan di Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah menggunakan pendekatan desain untuk meneliti dan mengatasi masalah sosial yang kompleks serta mengembangkan inovasi untuk menghadirkan perubahan yang berkelanjutan. Keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat merupakan fokus terdepan Plepah.

Rengkuh menyebutkan, biasanya para petani punya 2 hingga 3 hektar kebun pinang yang menghasilkan 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohonnya per hari.

“Kami beli pelepah-pelepah petani saat ini dengan Rp 2.000 perkilogram. Dengan luas kebun pinang 2 sampai 3 hektar, petani bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp 3 juta. Jumlah itu naik dua kali lipat dari awal program pada 2018-2019,” ujar Rengkuh.

Produksi Saat Ini

Plepah dimulai sebagai usaha start-up dengan modal sebesar 100 juta yang berasal dari PT Jentera Garda Futura. Rengkuh menggunakan modal itu untuk mengembangkan dan memproduksi mesin yang tepat.


Pekerjaan mesin di Plepah.
Sumber: IG @plepah_id.

“Pertama-tama (pelepah pinang) disterilkan lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. 1 lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 biji,” tutur Rengkuh.

Saat ini Plepah sudah memiliki dua pusat produksi di Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan Tanjung Jabung Timur, Jambi. Di dua tempat itu masing-masing mempekerjakan 20 orang dalam proses produksi. Selain itu. terdapat lima titik penyedia bahan baku di Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang melibatkan 30-40 kepala keluarga.

Dampak Positif Plepah bagi Masyarakat

Selain bercita-cita untuk menyediakan solusi alternatif bagi penggunaan kemasan sekali pakai yang berbahaya bagi lingkungan, Plepah juga ingin meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Usaha mereka tidak sia-sia. Program pemanfaatan pelepah pinang yang diinisiasi Plelah terbukti memberikan dampak positif. Masyarakat di area program mulai meninggalkan kebiasaan lama mereka melakukan pembalakan liar untuk mendapatkan penghasilan. Keikutsertaan mereka dalam program Plepah memberikan peningkatan pendapatan.

Visi ke Depan

Plepah memberikan 100% waktu, tenaga dan dedikasi untuk mewujudkan tujuan jangka panjang yaitu mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk petani lokal dan Badan Usaha Milik Desa atau Koperasi Masyarakat melalui pengembangan komoditas.

Rengkuh dkk. optimis bisnis Plepah akan berkelanjutan jika masyarakat di desa yang berperan menyediakan bahan baku di hulu meningkat perekonomiannya. Di hilir, bisnis ini akan bertahan jika kemasan ramah lingkungan yang mereka produksi mudah didapatkan dan harganya  terjangkau.

Harga memang menjadi tantangan karena saat ini wadah berbahan pelepah pinang ini dihargai Rp2.000-4.000,00 per buahnya, lebih mahal dari kemasan Styrofoam yang berkisar Rp300,00. Hal ini diatasi dengan mengedukasi masyarakat dengan menjual keunggulan produk yaitu ramah lingkungan.

Kemasan Plepah sudah diekspor ke Jepang mulai akhir tahun lalu. Plepah saat ini bisa mengekspor satu kontainer berisi 240.000 wadah atau sesuai order permintaan. 

Kemasan makanan Plepah.
Sumber: IG @plepah_id.

Penghargaan-penghargaan

Plepah pernah meraih Top 20 Good Design Award untuk kategori desain produk kemasan ramah lingkungan pada tahun 2020 oleh Kementerian Perindustrian.

Plepah juga meraih penghargaan untuk inovasi desain kemasan ramah lingkungan dari Bali Creative Industry Center, Fashion and Craft Award, pada tahun 2019 untuk kategori Inkubasi Bisnis Sosial.

Tidak salah jika kemudian Rengkuh Banyu Mahandaru terpilih menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 dalam kategori kelompok sebagai salah satu tokoh inspiratif.

Rengkuh Banyu berharap agar usahanya ini bisa terus berkarya bersama memberikan dampak positif berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan.

Ayo gunakan Plepah demi kesejahteraan petani pinang dan kelestarian lingkungan.
Sumber: IG @plepah_id.

Sumber: dari berbagai sumber dan IG @plepah_id.

 



 

No comments:

Post a Comment