Siapa tidak kenal Styrofoam? Aku
mengenal benda ringan berwarna putih ini sejak kecil, awalnya sebagai bahan
pelindung alat elektronik dalam kardus, untuk mencegah kerusakan dari goncangan
saat pengiriman. Siapa yang dulu suka menggores-gores Styrofoam bekas di
permukaan jalan atau tembok yang kasar, lalu berpura-pura bermain salju dengan
bubuk Styrofoam? Hayo, ngaku!
Beragam jenis Styrofoam Sumber: dari berbagai sumber |
Entah sejak kapan tepatnya, Styrofoam
mulai banyak dipakai sebagai alat pengemas makanan terutama makanan take-away.
Aku ingat, dulu jika membeli bubur ayam
di jalan untuk dimakan di rumah, bubur akan ditempatkan di kantung kresek bening.
Di rumah, kantung kresek akan dibuka atau digunting lalu isinya dituang ke
mangkuk atau piring. Kemudian fungsi kantung kresek digantikan oleh Styrofoam. Dengan
Styrofoam, tampilan take-away jadi lebih rapi dan representable, terlepas
dari isinya bubur atau gorengan atau tahu bulat yang digoreng dadakan.
Sayangnya, hingga kini masih banyak
ditemui penjual makanan kaki lima atau street foods yang menggunakan Styrofoam
untuk mewadahi soto mie, seblak, bakso, atau makanan berkuah panas lainnya.
Makanan berkuah panas dalam Styrofoam. Sumber: Douglas Perkins dari pixabay. |
Dalam tingkatan yang sama atau lebih berbahaya, begitu juga dampak Styrofoam untuk lingkungan.
Di mana wadah makanan ini harus
dicuci jika kita ingin jajan berbagai makanan dalam sekali jalan? Apakah tempat
cuci tersedia? Apakah kita harus membawa banyak wadah makanan dari rumah saat
kita kulineran dengan keluarga, lalu pulang ke rumah dengan membawa
cucian seabrek? Bukankah jauh lebih praktis langsung membuang bekas wadah
makanan sekali pakai?
Ada juga aksi untuk ‘kembali ke
alam’ atau ‘kembali ke kearifan lokal’. Orang-orang menggunakan kembali daun
dan besek (wadah dari anyaman bambu) untuk mengemas beberapa jenis makanan. Tentu
saja wadah ini sangat ramah lingkungan. Namun, wadah alami jenis ini sangat
mudah rusak dan higienisnya kurang terjamin. Wadah alami ini juga tidak praktis
untuk dibawa ke mana-mana. Belum lagi soal ketersediaannya dalam skala besar.
Rengkuh Banyu Mahandaru adalah salah satu inovator yang berhasil menemukan alternatif pengganti Styrofoam yang ramah lingkungan. Dia lahir di Garut, pada tanggal 26 Juli 1991. Dia menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Desain Produk di Institut Teknologi Bandung.
Pria ini adalah pendiri Plepah, perusahaan rintisan yang dengan fokus usaha memproduksi produk kemasan seperti piring, mangkuk, dan kontainer makanan dari pelepah pohon pinang. Tak tanggung-tanggung, hasil inovasinya ini telah menghasilkan omzet miliaran rupiah dengan kapasitas produksi mencapai 120.000 buah per bulannya. Produk dari Plepah telah merambah pasar luar negeri seperti Jepang.Eits, tunggu dulu. Jangan langsung
ke cerita sukses, dong. Kita mulai pelan-pelan ya, karena semua kesuksesan ada
awal mulanya dan kisah awal mula ini tak kalah seru untuk disimak.
Di usia 27 tahun, Rengkuh beserta
dua orang temannya yaitu Almira Zulfikar dan Fadhlan Makarim mendirikan Plepah.
Selain berlatar belakang Pendidikan sama, ketiga orang ini juga tergabung dalam
Footloose Initiative, organisasi multidisiplin yang berfokus pada inovasi
sosial dan lingkungan.
Plepah
Awal mula munculnya Plepah adalah
dari rasa gundah Rengkuh Banyu terhadap isu lingkungan yang sangat berpotensi
timbul dari penggunaan Styrofoam yang tidak bijak.
Hal ini beririsan dengan adanya
penugasan dari Badan Ekonomi Kreatif di tahun 2018 agar mereka memberikan
edukasi, pendampingan dan eksplorasi bersama pelaku kreatif di daerah-daerah
Indonesia.
Saat melakukan interaksi dengan
masyarakat di daerah mereka menyadari ada banyak masalah yang dapat
diselesaikan melalui nilai-nilai lokal.
Rengkuh dan kawan-kawan menggunakan
pendekatan design thinking dan human centered design untuk
melihat dan mengatasi masalah sosial yang kompleks di seluruh sektor serta
mengembangkan ide-ide inovatif untuk menghadirkan sebuah perubahan yang
berkelanjutan. Salah satu hasilnya adalah pemberdayaan masyarakat di area
konservasi melalui pengolahan produk non-kayu dan limbah agrikultur.
Kelompok Plepah mengunjungi
langsung para petani, khususnya yang berada di Jambi, Sumatera Selatan dan area
lain menanam pinang sebagai komoditi sampingan. Kebun pinang biasanya digunakan
sebagai pembatas kebun utama yang berisi tanaman kelapa sawit dan karet. Buah pinang
biasanya diekspor ke India dan Cina.
Luas area kebun pinang di Sumatera
totalnya sekitar 150.000 hektar dengan Jambi dan Sumatera Selatan sebagai provinsi
yang paling paling banyak memiliki perkebunan pinang. Pelepah pinang juga
dianggap sebagai limbah. Malah pada musim hujan, pelepah ini menjadi berbahaya
karena dapat dijadikan sarang nyamuk berkembang biak.
Muncullah ide untuk mengembangkan potensi
pelepah pinang untuk menjawab tantangan isu lingkungan.
“Inisiatif ini, di luar isu lingkungan adalah upaya meningkatkan nilai
tambah dari limbah pertanian. Dulu orang mungkin tidak terfokus untuk melihat
bahwa sektor pertanian adalah penyumbang emisi karbon tertinggi,” ujar Rengkuh
Banyu kepada majalah Tempo.
Di tahun 2018 itu, kegiatan Plepah
difokuskan di Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Desa
Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah menggunakan
pendekatan desain untuk meneliti dan mengatasi masalah sosial yang kompleks
serta mengembangkan inovasi untuk menghadirkan perubahan yang berkelanjutan.
Keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat merupakan fokus terdepan Plepah.
Rengkuh menyebutkan, biasanya para
petani punya 2 hingga 3 hektar kebun pinang yang menghasilkan 5-10 kilogram
pelepah yang jatuh dari pohonnya per hari.
“Kami beli pelepah-pelepah petani
saat ini dengan Rp 2.000 perkilogram. Dengan luas kebun pinang 2 sampai 3
hektar, petani bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp 3 juta. Jumlah
itu naik dua kali lipat dari awal program pada 2018-2019,” ujar Rengkuh.
Produksi Saat Ini
Plepah dimulai sebagai usaha
start-up dengan modal sebesar 100 juta yang berasal dari PT Jentera Garda Futura.
Rengkuh menggunakan modal itu untuk mengembangkan dan memproduksi mesin yang tepat.
Pekerjaan mesin di Plepah. Sumber: IG @plepah_id. |
“Pertama-tama (pelepah pinang) disterilkan
lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. 1
lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau
dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 biji,” tutur Rengkuh.
Dampak Positif Plepah bagi Masyarakat
Selain bercita-cita untuk menyediakan
solusi alternatif bagi penggunaan kemasan sekali pakai yang berbahaya bagi
lingkungan, Plepah juga ingin meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Usaha
mereka tidak sia-sia. Program pemanfaatan pelepah pinang yang diinisiasi Plelah
terbukti memberikan dampak positif. Masyarakat di area program mulai
meninggalkan kebiasaan lama mereka melakukan pembalakan liar untuk mendapatkan
penghasilan. Keikutsertaan mereka dalam program Plepah memberikan peningkatan
pendapatan.
Visi ke Depan
Plepah memberikan 100% waktu,
tenaga dan dedikasi untuk mewujudkan tujuan jangka panjang yaitu mempromosikan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk petani lokal dan Badan Usaha Milik
Desa atau Koperasi Masyarakat melalui pengembangan komoditas.
Rengkuh dkk. optimis bisnis Plepah
akan berkelanjutan jika masyarakat di desa yang berperan menyediakan bahan baku
di hulu meningkat perekonomiannya. Di hilir, bisnis ini akan bertahan jika
kemasan ramah lingkungan yang mereka produksi mudah didapatkan dan
harganya terjangkau.
Harga memang menjadi tantangan karena
saat ini wadah berbahan pelepah pinang ini dihargai Rp2.000-4.000,00 per buahnya,
lebih mahal dari kemasan Styrofoam yang berkisar Rp300,00. Hal ini diatasi
dengan mengedukasi masyarakat dengan menjual keunggulan produk yaitu ramah
lingkungan.
Kemasan makanan Plepah. Sumber: IG @plepah_id. |
Penghargaan-penghargaan
Plepah pernah meraih Top 20 Good Design Award untuk
kategori desain produk kemasan ramah lingkungan pada tahun 2020 oleh
Kementerian Perindustrian.
Plepah juga meraih penghargaan untuk inovasi desain
kemasan ramah lingkungan dari Bali Creative Industry Center, Fashion and Craft
Award, pada tahun 2019 untuk kategori Inkubasi Bisnis Sosial.
Tidak salah jika kemudian Rengkuh Banyu
Mahandaru terpilih menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 dalam
kategori kelompok sebagai salah satu tokoh inspiratif.
Rengkuh Banyu berharap agar
usahanya ini bisa terus berkarya bersama memberikan dampak positif berkelanjutan
bagi masyarakat dan lingkungan.
Ayo gunakan Plepah demi kesejahteraan petani pinang dan kelestarian lingkungan. Sumber: IG @plepah_id. |
Sumber: dari berbagai sumber dan IG @plepah_id.
No comments:
Post a Comment